Selasa, 17 Oktober 2017

Makalah Pendidikan Agama Islam Harta Waris



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Syariat  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.[1]



1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan waris ?
  2. Apa saja syarat dan rukun waris ?
  3. Sebutkan golongan ahli waris !
  4. Sebutkan  hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
  5. Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
  6. Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
  7. Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ? 

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah

1.      Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah pendidikan agama islam.
2.      Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
3.      Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama Islam.















BAB II
HUKUM WARIS MENURUT ISLAM
2.1 Pengertian waris

Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam. Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah :[2]
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya".

Hukum Waris Islam
 kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam.

2.2 Syarat dan rukun waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
  1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
  2.  Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
  3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.[3]
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
  1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a.) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.


b.) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c.) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
  1. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
  2. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.[4]


2.3 Golongan ahli waris
Ada 25 ahli waris yang diatur dalam ketentuan hukum waris islam,yang dapat mewarisi harta pewaris yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
Ahli Waris Laki-Laki Terdiri Dari:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3. Ayah
4. Kakek dari ayah dan terus ke atas
5. Saudara laki-laki kandung
6. Saudara laki-laki seayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
10. Paman yang sekandung dengan ayah
11. Paman yang seayah dengan ayah
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
13. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak

Jika ahli waris laki-laki tersebut semua ada,maka yang mendapat bagian  hanya tiga orang,yaitu:
1. Anak laki-laki
2. Suami
3. Ayah
Ahli Waris Perempuan Terdiri Dari:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki,dan terus kebawah
3. Ibu
4. Nenek (ibu dari ibu) dan terus ke atas
5. Nenek (ibu dari ayah),dan terus kebawah
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan seayah
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. orang perempuan yang memerdekakan budak[6]

Jika semua ahli waris perempuan tersebut ada,maka yang mendapat bagian hanya lima orang,yaitu:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Saudara perempuan kandung
5. Istri

Jika ahli waris laki-laki dan perempuan sejumlah 25 orang tersebut semua ada,maka yang mendapat bagian adalah:
1. Ayah
2. Ibu
3. Anak laki-laki
4. Anak perempuan
5. Suami atau istri

Selanjutnya, ahli waris yang berjumlah 25 orang tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:ahli waris dzawul furuudh dan ahli waris ashabah.


1.Golongan Dzawul Furuudh
Dzawul furuudh yang dimaksud adalah ahli waris yang mendapat bagian pasti sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam waris Islam tersebut adalah:
  1. Setengah (1/2)
  2. Seperempat (1/4)
  3. Seperdelapan (1/8)
  4. Dua pertiga (2/3)
  5. Sepertiga (1/3)
  6. Seperenam (1/6)
2.Golongan Ashabah
Golongan ashabah adalah kelompok ahli waris yangb menerima bagian sisa,sehingga jumlah bagiannya tidak tertentu.kelompok ashabah ini kalau mewaris sendirian,tidak bersama dengan kelompok dzawul furudh maka bagian warisan diambil semua.Sebaliknya jika kelompok ini bersama dengan dzawul furuudh dan setelah di bagi ternyata harta warisan sudah habis,maka kelompok ashabah ini tidak mendapat apa-apa.
Adapun macam-macam Ashabah adalah : Ashabah binafsih ,ashabah bil ghair dan ashabah ma’al ghair.

a.Ashabah Binafsih.
Ashabah binafsih yang dimaksud adalah ashabah dengan sendirinnya dan bukan karena tertarik oleh ahli waris yang lain atau bersamaan dengan ahli waris yang lain,tetapi asalnya memang sudah menjadi ashabah.[7]
Yang termasuk kelompok ashabah binafsih antara lain:
1.anak laki-laki
2.cucu laki-laki dari anak llaki-laki dan terus kebawah
3.ayah
4.kakek dari pihak ayah dan terus keatas
5.Saudara laki-laki sekandung
6.Saudara laki-laki seayah
7.Anak saudara laki-laki sekandung
8.Anak saudara laki-laki seayah
9.Paman yang sekandung dengan ayah
10.Paman yang seayah dengan ayah
11.Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
12.Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah

Apabila orang-orang yang tersebut diatas semiua ada maka tidak semua mereka di beri bagian,akan tetapi harus didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris,dengan memperhatikan urutan nomor 1-12 tersebut.

b.Ashabah Bil Ghair.
Ashabah bil ghair adalah kelompok ahli waris yang asalnya sebagai dzawul furuudh,namun mereka mendapat bagian ashabah karena tertarik oleh ahli waris lain yang berstatus ashabah.Yang termasuk kelompok ashabah bil ghair ini adalah:
1.Anak perempuan menjadi ashabah karena ditarik oleh anak laki-laki
2.Cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi ashabah karena ditarik oleh cucu laki-laki  dari anak laki-laki.
3.Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena ditarik oleh saudara laki-laki kandung.
4.Saudara perempuan seayah menjadi ashabah karena ditarik oleh saudara laki-laki seayah.
Dalam pembagian ashabah ini perlu diperhatikan pembagian antara laki-laki dan perempuan dua banding satu,seperti dalam surat an-nisa’ ayat 176[8]

c.Ashabah Ma’al Ghair
Ashabaah Ma’al Ghair adalah kelompok ahli waris yang mendapat bagian ashabah karena mewaris bersama-sama  kelompok dzawul furuudh yang lain.yang termasuk Ashabah Ma’al Ghair adalah:
1.Saudara perempuan sekandung apabila dia mewaris bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.
2.Saudara perempuan seayah,apabila dia mewaris bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.[9]

3.Golongan Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kelompok yang tidak disebut dalam dzawul furudh dan ashabah namun mempunyai hubungan dekat dengan pewaris.Yang termasuk dalam Dzawul Arham ini adalah:
            1.Cucu dari anak perempuan
            2.Anak dari saudara perempuan
            3.Anak perempuan dari saudara laki-laki
            4.Saudara ayah seibu
            5.Saudara ibu
            6.Saudara perempuan ibu
            7.Saudara perempuan ayah
            8.Ayahnya ibu
            9.Anak perempuan paman






2.4 Beberapa hak yang bersangkutan dengan harta waris
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
1.         Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
2.         Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3.         Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
4.         Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.[10]

2.5 Bagian-bagian ahli waris
Adapun bagian bagian yang diterima ahli waris sebagai berikut:

A.Bagian Ayah
-mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak laki-laki atau cucu laki- laki dari anak laki-laki
-mendapat bagian 1/6 dan ashabah apabila bersama-sama dengan anak peempuan atau cucu perempuan dan anak laki-laki
-Menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki

B.Bagian Ibu
-mendapat bagian 1/6  apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki, atau bersama dengan dua orang saudara atau lebih,baik saudara kandung,seayah,atau seibu.[11]
-mendapat 1/3 bagian apabila tidak ada anak,atau cucu dai anak laki-laki,atau tidak dua orang saudara atau lebih.
-mendapat 1/3 sisa apabila bersama-sama dengan ayah beserta suami atau istri.

C.Bagian kakek
-bagian kakek sama dengan bagian ayah karena kakek di mahjub oleh ayah.

D.Bagian Nenek
-mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah (jika nenek dari pihak ayah) dan tidak ada ibu (jika nenek dari pihak ibu.
-terhalang oleh ayah,bagi nenek yang dari pihak ayah
-terhalang oleh ibu,bagi nenek yang dari pihak ibu

E.Bagian Suami
-mendapat ¼ bagian apabila bersama-sama anak atau cucu dari anak laki-laki
-mendapat ½ bagian apabila tidak ada anak/cucu dari anak laki-laki

F.Bagian Istri
-mendapat 1/8 bagian apabila bersama-sama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
-mendapat ¼ bagian apabila tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki

G.Bagian Anak Perempuan
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada anak laki-laki
-mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang /lebih dan tidak ada anak laki-laki
-tertarik menjadi ashabah apabila mewaris bersama dengan anak laki-laki.[12]


H.Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada anak,serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya menadi ashabah.[13]
-mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang atau lebih dan tidak ada anak,serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya menjadi ashabah
-mendapat 1/6 bagian apabila mewaris bersama dengan seorang anak perempuan,yakni untuk menggenapi bagian 2/3 bagian
-tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki
-terhalang oleh anak laki-laki,atau dua anak perempuan atau lebih

I.Bagian Saudara Perempuan Kandung
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yng menariknya menjadi ashabah.
-mendapat 2/3 bagian apabila dua orang atau lebih,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yang menariknya menjadi ashabah
-tertarik menjadi ashabah oleh saudar laki-laki kandung atau oleh kakek (ashabah bil ghair)
-menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
-terhalang oleh ayah,anak laki-laki,atau cucu laki-laki dari anak laki-laki

J.Bagian Saudara Perempuan  Seayah
-mendapat ½ bagian,apabila hanya seorang,tidak ada anak,cucu,saudara kandung,ayah,sera tidak ada yang menariknya menadi ashabah
-mendapat 2/3 bagian,apabila dua orang atau lebih dengan syarat sebagaimana diatas
-mendapat 1/6 bagian,apabila bersama dengan seorang saudara perempuan kandung,yaitu untuk menggenapi 2/3 bagian
-tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki seayah atau kakek (ashabah bil ghair)
-menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki

K.Bagian Saudara Seibu (laki-laki atau perempuan)
-mendapat 1/6 bagian apabila hanya seorang dan tidak ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak laki-laki
-mendapat 1/3 bagian apabila dua orang atau lebih dan tidak ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak laki-laki.[14]

2.6 Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
  1. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
  2. Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :
  3. Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
  4. Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.[15]
  5. Bapak.
  6. Kakek.
  7. Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut :
  8. Bapak.
  9. Anak laki-laki.
  10. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
  11. Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
  12. Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
  13. Anak laki-laki.
  14. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
  15. Bapak.
  16. Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
  17. Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
  18. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
  19. Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.[16]



2.7 Hal-hal yang menghalangi waris
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a.       Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”. [17]
Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
  1. Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
  2. Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
  3. Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.[18]
b.      Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang  Artinya:
” Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”[19]
c.       Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.
d.      Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
  1. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
  2. Kepala negara yang berbeda.
  3. Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.[20]
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI). Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”[21]
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”[22]
Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:[23]
  1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”[24]



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpukan bahwa :
·           Waris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.
·           Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya.Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
·           Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
1.    Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
2.    Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3.    Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
4.    Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.


3.2  Saran
Ilmu faraid atau yang biasa di kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.
  • Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan yang meninggal.
  • Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
1.      Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
2.      Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia. Jakarta : Penerbit PT Sinar Grafika.
3.      Muhammad Ali Ash-Sahabuni , op. cit. hlm. 40
4.      Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 21-22
5.      H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
6.      Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, op. cit., hlm. 79
7.      Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 91
8.      Al Bayan
9.      Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hlm.35
10.  Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
11.  ibid. hlm. 82.


Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia. Jakarta : Penerbit PT Sinar Grafika.
Muhammad Ali Ash-Sahabuni , op. cit. hlm. 40
Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 21-22
Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 21-22
Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. cit , hlm. 29
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
ibid, hlm. 347
dpmfhunmer.blogspot.co.id/2011/09/penggolongan-ahli-waris-dalam-hukum.html
dpmfhunmer.blogspot.co.id/2011/09/penggolongan-ahli-waris-dalam-hukum.html
dpmfhunmer.blogspot.co.id/2011/09/penggolongan-ahli-waris-dalam-hukum.html
dpmfhunmer.blogspot.co.id/2011/09/penggolongan-ahli-waris-dalam-hukum.html
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 363
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 363
Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, op. cit., hlm. 79
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 91
Al Bayan
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hlm.35
Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
ibid. hlm. 82
Ibid
ibid.

0 komentar:

Posting Komentar