BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Syariat Islam
menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu,
paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum
dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang
diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.[1]
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat
diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa yang dimaksud dengan waris ?
- Apa saja syarat dan rukun waris ?
- Sebutkan golongan ahli waris !
- Sebutkan hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
- Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
- Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
- Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
1.3 Tujuan
Pembuatan Makalah
1. Untuk memenuhi salah satu tugas
matakuliah pendidikan agama islam.
2. Untuk mengetahui dan memaparkan
hukum waris menurut pandangan agama Islam.
3. Untuk menambah wawan pembaca
mengenai hukumwaris menurut pandangan agama Islam.
BAB II
HUKUM WARIS MENURUT ISLAM
2.1 Pengertian
waris
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam. Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang
ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris
serta cara pembagiannya.”
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh
mawaris (Hukum Waris Islam)
telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah :[2]
"Ilmu
yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam
islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang
diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya".
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam.
Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam.
2.2 Syarat dan rukun waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati
oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
- Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.[3]
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam,
diketahui ada tiga macam, yaitu :
- Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a.) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati)
adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim
dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera
dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b.) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim
atau yuridis)
Mati hukmy (mati
menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas
dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad
hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c.) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati
menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras,
misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum
racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
- Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
- Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.[4]
2.3 Golongan ahli waris
Ada 25 ahli waris yang diatur dalam ketentuan hukum
waris islam,yang dapat mewarisi harta pewaris yang terdiri dari 15 orang
laki-laki dan 10 orang perempuan.
Ahli Waris Laki-Laki Terdiri Dari:
1. Anak
laki-laki
2. Cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
3. Ayah
4. Kakek
dari ayah dan terus ke atas
5. Saudara
laki-laki kandung
6. Saudara
laki-laki seayah
7. Saudara
laki-laki seibu
8. Anak
laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah
10. Paman
yang sekandung dengan ayah
11. Paman
yang seayah dengan ayah
12. Anak
laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
13. Anak
laki-laki paman yang seayah dengan ayah
14. Suami
15. Orang
laki-laki yang memerdekakan budak
Jika ahli waris laki-laki tersebut semua ada,maka yang
mendapat bagian hanya tiga orang,yaitu:
1. Anak
laki-laki
2. Suami
3. Ayah
Ahli Waris Perempuan Terdiri Dari:
1. Anak
perempuan
2. Cucu
perempuan dari anak laki-laki,dan terus kebawah
3. Ibu
4. Nenek
(ibu dari ibu) dan terus ke atas
5. Nenek
(ibu dari ayah),dan terus kebawah
6. Saudara
perempuan kandung
7. Saudara
perempuan seayah
8. Saudara
perempuan seibu
9. Istri
10. orang
perempuan yang memerdekakan budak[6]
Jika semua ahli waris perempuan tersebut ada,maka yang
mendapat bagian hanya lima orang,yaitu:
1. Anak
perempuan
2. Cucu
perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Saudara
perempuan kandung
5. Istri
Jika ahli waris laki-laki dan perempuan sejumlah 25
orang tersebut semua ada,maka yang mendapat bagian adalah:
1. Ayah
2. Ibu
3. Anak
laki-laki
4. Anak
perempuan
5. Suami
atau istri
Selanjutnya, ahli waris yang berjumlah 25 orang
tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:ahli waris dzawul furuudh
dan ahli waris ashabah.
1.Golongan Dzawul Furuudh
Dzawul furuudh yang dimaksud adalah ahli waris yang
mendapat bagian pasti sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Qur’an maupun
al-Hadis.Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam waris Islam tersebut adalah:
- Setengah (1/2)
- Seperempat (1/4)
- Seperdelapan (1/8)
- Dua pertiga (2/3)
- Sepertiga (1/3)
- Seperenam (1/6)
2.Golongan Ashabah
Golongan ashabah adalah kelompok ahli waris yangb
menerima bagian sisa,sehingga jumlah bagiannya tidak tertentu.kelompok ashabah
ini kalau mewaris sendirian,tidak bersama dengan kelompok dzawul furudh
maka bagian warisan diambil semua.Sebaliknya jika kelompok ini bersama dengan dzawul
furuudh dan setelah di bagi ternyata harta warisan sudah habis,maka
kelompok ashabah ini tidak mendapat apa-apa.
Adapun macam-macam Ashabah adalah : Ashabah
binafsih ,ashabah bil ghair dan ashabah ma’al ghair.
a.Ashabah
Binafsih.
Ashabah binafsih yang dimaksud adalah ashabah dengan
sendirinnya dan bukan karena tertarik oleh ahli waris yang lain atau bersamaan
dengan ahli waris yang lain,tetapi asalnya memang sudah menjadi ashabah.[7]
Yang termasuk kelompok ashabah binafsih antara lain:
1.anak laki-laki
2.cucu laki-laki dari anak llaki-laki dan terus
kebawah
3.ayah
4.kakek dari pihak ayah dan terus keatas
5.Saudara laki-laki sekandung
6.Saudara laki-laki seayah
7.Anak saudara laki-laki sekandung
8.Anak saudara laki-laki seayah
9.Paman yang sekandung dengan ayah
10.Paman yang seayah dengan ayah
11.Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
12.Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
Apabila orang-orang yang tersebut diatas semiua ada
maka tidak semua mereka di beri bagian,akan tetapi harus didahulukan
orang-orang yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris,dengan memperhatikan
urutan nomor 1-12 tersebut.
b.Ashabah
Bil Ghair.
Ashabah bil ghair adalah kelompok ahli waris yang
asalnya sebagai dzawul furuudh,namun mereka mendapat bagian ashabah karena
tertarik oleh ahli waris lain yang berstatus ashabah.Yang termasuk kelompok
ashabah bil ghair ini adalah:
1.Anak perempuan menjadi ashabah karena ditarik oleh
anak laki-laki
2.Cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi ashabah
karena ditarik oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki.
3.Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena
ditarik oleh saudara laki-laki kandung.
4.Saudara perempuan seayah menjadi ashabah karena ditarik
oleh saudara laki-laki seayah.
Dalam pembagian ashabah ini perlu diperhatikan
pembagian antara laki-laki dan perempuan dua banding satu,seperti dalam surat
an-nisa’ ayat 176[8]
c.Ashabah
Ma’al Ghair
Ashabaah Ma’al Ghair adalah kelompok ahli waris yang mendapat
bagian ashabah karena mewaris bersama-sama kelompok dzawul furuudh yang
lain.yang termasuk Ashabah Ma’al Ghair adalah:
1.Saudara perempuan sekandung apabila dia mewaris
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan.
2.Saudara perempuan seayah,apabila dia mewaris bersama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan.[9]
3.Golongan Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kelompok yang tidak disebut dalam
dzawul furudh dan ashabah namun mempunyai hubungan dekat dengan pewaris.Yang
termasuk dalam Dzawul Arham ini adalah:
1.Cucu dari anak perempuan
2.Anak dari saudara perempuan
3.Anak perempuan dari saudara laki-laki
4.Saudara ayah seibu
5.Saudara ibu
6.Saudara perempuan ibu
7.Saudara perempuan ayah
8.Ayahnya ibu
9.Anak perempuan paman
2.4 Beberapa hak yang bersangkutan dengan
harta waris
Sebelum di lakukan pembagian
harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut
adalah :
1.
Hak yang bersangkutang dengan harta itu,
seperti zakat dan sewanya.
2.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti
harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang
pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus
mayat.
3.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
4.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak
lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat.[10]
2.5 Bagian-bagian
ahli waris
Adapun bagian bagian yang diterima ahli waris sebagai
berikut:
A.Bagian Ayah
-mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan anak
laki-laki atau cucu laki- laki dari anak laki-laki
-mendapat bagian 1/6 dan ashabah apabila bersama-sama
dengan anak peempuan atau cucu perempuan dan anak laki-laki
-Menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu dari
anak laki-laki
B.Bagian Ibu
-mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan
anak atau cucu dari anak laki-laki, atau bersama dengan dua orang saudara atau
lebih,baik saudara kandung,seayah,atau seibu.[11]
-mendapat 1/3 bagian apabila tidak ada anak,atau cucu
dai anak laki-laki,atau tidak dua orang saudara atau lebih.
-mendapat 1/3 sisa apabila bersama-sama dengan ayah
beserta suami atau istri.
C.Bagian
kakek
-bagian kakek sama dengan bagian ayah karena kakek di
mahjub oleh ayah.
D.Bagian
Nenek
-mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah (jika nenek dari
pihak ayah) dan tidak ada ibu (jika nenek dari pihak ibu.
-terhalang oleh ayah,bagi nenek yang dari pihak ayah
-terhalang oleh ibu,bagi nenek yang dari pihak ibu
E.Bagian
Suami
-mendapat ¼ bagian apabila bersama-sama anak atau cucu
dari anak laki-laki
-mendapat ½ bagian apabila tidak ada anak/cucu dari
anak laki-laki
F.Bagian
Istri
-mendapat 1/8 bagian apabila bersama-sama dengan anak
atau cucu dari anak laki-laki
-mendapat ¼ bagian apabila tidak ada anak atau cucu
dari anak laki-laki
G.Bagian
Anak Perempuan
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada
anak laki-laki
-mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang
/lebih dan tidak ada anak laki-laki
-tertarik menjadi ashabah apabila mewaris bersama
dengan anak laki-laki.[12]
H.Bagian
Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak ada
anak,serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya menadi ashabah.[13]
-mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang atau
lebih dan tidak ada anak,serta tidak ada ahli waris lain yang menariknya
menjadi ashabah
-mendapat 1/6 bagian apabila mewaris bersama dengan
seorang anak perempuan,yakni untuk menggenapi bagian 2/3 bagian
-tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dari
anak laki-laki
-terhalang oleh anak laki-laki,atau dua anak perempuan
atau lebih
I.Bagian
Saudara Perempuan Kandung
-mendapat ½ bagian apabila hanya seorang,tidak ada
anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yng menariknya menjadi ashabah.
-mendapat 2/3 bagian apabila dua orang atau
lebih,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yang menariknya
menjadi ashabah
-tertarik menjadi ashabah oleh saudar laki-laki
kandung atau oleh kakek (ashabah bil ghair)
-menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
-terhalang oleh ayah,anak laki-laki,atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki
J.Bagian
Saudara Perempuan Seayah
-mendapat ½ bagian,apabila hanya seorang,tidak ada
anak,cucu,saudara kandung,ayah,sera tidak ada yang menariknya menadi ashabah
-mendapat 2/3 bagian,apabila dua orang atau lebih
dengan syarat sebagaimana diatas
-mendapat 1/6 bagian,apabila bersama dengan seorang
saudara perempuan kandung,yaitu untuk menggenapi 2/3 bagian
-tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki
seayah atau kakek (ashabah bil ghair)
-menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki
K.Bagian
Saudara Seibu (laki-laki atau perempuan)
-mendapat 1/6 bagian apabila hanya seorang dan tidak
ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak laki-laki
-mendapat 1/3 bagian apabila dua orang atau lebih dan
tidak ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak laki-laki.[14]
2.6 Sebab-sebab tidak mendapatkan harta
waris
Ahli waris yang telah di
sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut
ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang
lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di
jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang
karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
- Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di bawah ini :
- Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
- Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.[15]
- Bapak.
- Kakek.
- Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah seorang dari empat orang berikut :
- Bapak.
- Anak laki-laki.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
- Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
- Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
- Anak laki-laki.
- Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
- Bapak.
- Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
- Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
- Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak) mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
- Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.[16]
2.7 Hal-hal yang menghalangi waris
Pada umum hal-hal yang bisa
menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a. Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu
perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat
dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh
mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad
yang sahih)”. [17]
Imam Syafi’i memberikan contoh
pembunuhan yang dapat menjadi penghalang mewarisi sebagai berikut:
- Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
- Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
- Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.[18]
b. Berbeda
Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan
berbeda agama adalah agama yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda.
Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah
tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non Islam),
orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:
” Diriwayatkan daripada
Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh
mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta
orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”[19]
c. Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama
sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan, karena budak (hamba
sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan
hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka
seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak
juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa
diwariskan.
d. Berlainan
Negara
Perbedaan negara dilihat dari
segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai
berikut:
- Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang berbeda.
- Kepala negara yang berbeda.
- Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya.[20]
Sedangkan yang menjadi
penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal
171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan
berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI). Adapun persoalan agama
menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan
menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan
Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama
Islam. Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi
ahli waris.”[21]
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris
tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”[22]
Sedangkan penghalang mewarisi
yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan
memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena:[23]
- Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
- Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”[24]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di
atas, maka dapat di simpukan bahwa :
·
Waris adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa
saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta berapa
masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam.
·
Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan
mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab
semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya.Bagian-bagian
yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga tidak
ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin
kebenarannya.
·
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat
beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
1.
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat
dan sewanya.
2.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah
menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di
selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
4. Wasiat si
mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si
mayat.
3.2 Saran
Ilmu faraid atau yang biasa di
kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari.
Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan
lagi.
- Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan yang meninggal.
- Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari orang-orang dalam suatu masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Rifa’i, M. 1978. Ilmu fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
2.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di
Indonesia. Jakarta : Penerbit PT Sinar Grafika.
3.
Muhammad Ali Ash-Sahabuni , op.
cit. hlm. 40
4.
Muslich Maruzi, op. cit., hlm.
21-22
5.
H.Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung
: PT. Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-33, 2000, hlm. 349
6.
Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib
an-Nasa’i, op. cit., hlm. 79
7.
Fatchur Rahman, op. cit., hlm.
91
8.
Al Bayan
9. Abdul
Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Ekonisia, 2002, hlm.35
10.
Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
11. ibid. hlm.
82.
0 komentar:
Posting Komentar